Total Pageviews

Monday, June 25, 2018

SAAT TOKOH MOCOAN PRIHATIN ATAS LEMAHNYA RESPON SENIMKAN MUDA

Sehari menjelang lebaran kemarin (tanggal 30 September 2011), saya kebetulan bisa memenuhi keinginan bertemu dengan Bik Onah, Sri Panggung Mocoan Khas Banyuwangi. Nenek seangkatan Kakek saya (Kik Saip)  itu, kabarnya sedang menderita sakit keras. Bahkan terakhir dikabarkan sudah meninggal dunia, tetapi belum ada yang memberi kepastian. Sebelum pergi menuju Dusun Genting, Desa Sraten, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, saya bersama Nanang Yuswantoro Zuniar langsung menuju Desa Mangir, Rogojampi menemui Vergy, anak Almarhum Pak Hasan Ali yang juga penyanyi Using.

Sebelumnya, Vergi mengabari Nanang bila kondisi Bik Onah sakit keras. Vergi bersama ibunya telah menemui Bik Onah untuk mengantar "fitrah" dari keluarganya untuk seniwati tua itu. Keluarga almahum Hasan Ali ini, memang peduli dengan nasib seniwati yang kurang beruntung. Pasti ini adalah didikan almarhum yang sejak menjadi Kabag Kesra (Kesejahteraan Rakyat) Pemkab Banyuwangi sudah akrab dengan seniman, apalagi saat itu Hasan Ali adalah menjadi Sang Komandu atas pelestarian kembali kesenian-kesenian daerah Banyuwang yang sempat tenggelam akibat digunakan sebagai propagandi politik.


REALITAS SOSIAL DALAM GENDING BANYUWANGI TAHUN 1970-AN

Gending-gending Banyuwangi yang populer tahun 1970-an, tidak saja bercerita tentang percintaan. Namun dari itu, banyak juga yang mengetengahkan masalah-masalah sosial yang sedang berlaku di Banyuwangi. Bila kita dengarkan ulang gending-gending itu, akan melambungkan angan kita terhadap realitas yang terjadi di Banyuwangi pada saat Gending itu dibuat dan dipopulerkan. Pengarang syair gending-gending Banyuwangi pada saat itu, selain berlatar belakang Guru, seniman  dan juga ada pejabat. Mereka punya kepedulian khusus terhadap situasi sosial di daerahnya.

Konsekwensi pengarang sebagai anggota masyrakat, maka realitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari banyak juga terungkap lewat karya sastranya. Menurut Luxemburg (1984: 20), dunia fiksi itu sebagai suatu dunia lain berdiri di samping kenyataan, tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan.

Berdasarkan pendapat Luxemburd tersebut, bahwa realitas sosial yang digambarkan pengarang fakta kemiripan  dengan kenyataan sosial yang berlaku pada masyarakat pengarang (Banyuwangi). Namun kenyataan dalam karya sastra bukan merupakan tiruan secara utuh dari kenyataan sosial, tetapi hanya sebagai sarana dari pengarang untuk menyikapai suatu kenyataan. Kenyataan dalam karysa sastra, sudah melalui proses pengolahan dan penambahan oleh pengarang sesuai kebutuhan. Realitas sosial dalam karya sastra, juga bisa merupakan catatan peristiwa dari pengarang, untuk mengingatkan khalayak atau penikmat karya satra untuk memahami kejadian-kejadi yang sudah berlalu.

Sun kirim kembang lan gending, riko pasukan nol-nil tiga dua
Hang saiki podo turu kemul bumi dipeluk Ibu Pertiwi
Sak ubengiro segoro sedino-dino njogo kuburiro
Raino bengi ombang pesisir Banyuwangi nggandengi pujo lan puji


Waktu dino semono tanggal selikur ulan Juli
Tahun petang pulu pitu, ati lan jantung ditembus peluru
Pitulas Pahlawan adus getih didril serdadu Londo
Ambi mesem matiniro, lilo ngembangi Bongso


Sak durunge riko mati, pesisir Banyuwangi riko kancani
Timbang nyerah nang Londo, aluk mati kanggo mbelo Negoro
Mung sithik penjalukiro, nembang Indonesia Raya lan Merdeko
Tekad hang murub ring dodo, sampek mati terus digowo
                                                         (Kembang Kirim, BS Noedian)

Gending Kembang Kirim di atas, merupakan rekaman peristiwa pada tanggal 21 Juli 1947, yaitu bertepatan dengan Agresi Belanda Pertama di Indonesia. Peristiwanya terjadi di Banyuwangi, tepatnya di Pantai Banyuwangi atau Boom yang kemudian dijadikan THR (Tempat Hiburan Rakyat) awal tahun 1980-an. Di kawasan itu, dulu dijadikan Benteng Pertahanan untuk menghalau masuknya Belanda kembali ke Indonesia melalui laut. Pada peristiwa itu, pengarang menceritakan ada 17 tentara Indonesia gugur akibat tembakan senjata Belanda bertubi-tubi. Mereka yang gugur dari Kesatuan 0032 Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), sekarang TNI Angkatan Laut.

Perjuangan Angkatan Laut di Banyuwangi ini, merupakan perlawanan terhadap penjajah yang paling heroik. Dalam peristiwa ini, Komandan Pasukan, Letnan Muda Soelaiman sebelum ditembak mati pasukan Belanda, sempat dan mengakukan tiga permintaan. Pertama, minta supaya diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai hukum International yang berlaku. Kedua, diberi kesempatan menaikan Sang Saka Merah Putih. Ketiga, memekikan kata Merdeka. Inilah realitas yang berusaha digambarkan pengarang, untuk membangkitkan rasa nasionalisme.

Cara pengarang pengungkapkan peritiwa perang itu seperti kejadian yang baru terjadi, karena dilukiskan saat kematian para pehlawan itu terlihat dengan tersenyum. Penggambaran ini, untuk mengesankan keikhlasan para tentara itu dalam membela negara.



Wednesday, September 28, 2016

JANGER BANYUWANGI: DARI DRAMA TRADISIONAL HINGGA DRAMA BERDENDANG.

JANGER adalah sebuah Drama Tradisional yang hidup dan berkembang di Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang. Konon Janger ini adalah bentuk adaptasi dari Langendriyan yang dikembangkan Penguasan Mataram saat menguasai Blambangan. Bentuknya sangat unit, karena penampilan pisik dan musiknya seperti Drama Gong Bali. Termasuk dengan tarian pembukanya. Namun dalam antara wacana (dialog) mengunakan Bahasa Jawa layaknya Ketoprak.

Monday, November 28, 2011

MENCATAT SEJARAH MELALUI GENDING BANYUWANGI

Sosok BS Noerdian, sudah tidak asing lagi bagi penggemar Lagu-Lagu Daerah Banyuwangi. Selain karyanya cukup banyak, juga kiprahnya terhadap kesenian Daerah Banyuwangi dimulai sejak masih sekolah menengah pertama. Dari sejumlah lagu daerah Banyuwangi yang populer, banyak juga diantaranya karya BS Noerdian.

BS Noerdian lahir tanggal 5 Januari 1934 di Banyuwangi, dengan nama Basyir anak dari Mohammad Noer Sadan. Bakat keseniannya diakui berasal dari kakeknya (orang tua dari Ibu) yang bernama Mad Dardji almarhum. Sang Kakek yang orang Kelembon, Kota Banyuwangi, dikenal sebagai pendiri Kesenian Damarulan atau Janger (Drama Tradisional Banyuwangi). Saat usia memasuki SMP, Basyir kecil sudah akrab dengan kesenian tradisional. Bahkan aktivitas kakeknya dimulai sejak tahun 1920-an, setelah itu juga muncul kesenian Angklung atau Balin-Balian (Tabuhan Bali).

Saturday, March 12, 2011

MENAK JINGGO: MELAWAN MITOS DENGAN MITOS BARU

Pengertian mitos atau mite menurut JS Badudu (1986:45) adalah dengeng atau cerita tentang dewa-dewa atau pahlawan-pahlawan yang dipuja-puja. Keberadaan tokoh mitos, seperti diuraikan pakar Folklor, James Danandjaja,  meski sebagai pribadi pahlawan-pahlawan mitos itu tokoh sejarah, namun riwayat hidupnya yang kita kenal dalam mite, bukan sejarah itu sendiri. Riwayat itu tidak diambilkan dari pribadi asli tokoh sejarah, melainkan diambil dari riwayat tradisional yang masuk dalam folklore (1984:60).

Tuesday, March 1, 2011

KAMPUNG SENI WATUDODOL KAPAN DIREALISASI?I

Gapura Kejut saat memasuki kawasan Watododol Banyuwangi, salah satune ide dari Bupati Banyuwangi kala itu, Samsul Hadi. Bahkan Samsul yang aseli kelahiran Banyuwangi dan kebetulan dari etnis Using, ingin melengkapi kawasan Watudodol saat itu, dengan membangun Kampung Seniman (Antogan Seni) di Bukit seberang Pantai Watudodol. Sejumlah prasarana sudah disiapkan saat itu, namun sebelum gagasan itu dilaksanakan, Samsul keburu habis masa jabatan, serta masuk bui karena terlibat kasus korupsi.

Monday, February 28, 2011

ANDANG CY, GURU PENGARANG SYAIR LAGU USING

Terlahir dengan nama Andang Chotif Yusuf, pada tanggal 19 Sepetember 1934 di Banyuwangi. Orang tuanya bernama Subandar, sedangkan nama Yusuf di belakang namanya diambil dari nama orang tua angkat yang membesarkannya, yaitu Safi’I Yusuf. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah Sekolah Guru B, pada tahun 1953 di Bondowoso. Waktu masih sekolah Guru, Andang sudah aktif terlibat dalam kegiatan kesenian, antara lain menyutradarai pementasan Drama berjudul Emas Disangka Loyan.