Total Pageviews

Wednesday, September 28, 2016

JANGER BANYUWANGI: DARI DRAMA TRADISIONAL HINGGA DRAMA BERDENDANG.

JANGER adalah sebuah Drama Tradisional yang hidup dan berkembang di Kabupaten Banyuwangi hingga sekarang. Konon Janger ini adalah bentuk adaptasi dari Langendriyan yang dikembangkan Penguasan Mataram saat menguasai Blambangan. Bentuknya sangat unit, karena penampilan pisik dan musiknya seperti Drama Gong Bali. Termasuk dengan tarian pembukanya. Namun dalam antara wacana (dialog) mengunakan Bahasa Jawa layaknya Ketoprak.

 Janger ada juga yang menyebut Damarulan dan Jinggoan, yaitu merujuk nama tokoh dalam cerita yang dipentaskan.  Drama Tradisional yang pentas semalam suntuk ini, memang sudah mengalami peruabahan di sana-sani. Bahkan keberadaan Janger ini telah menghantar seorang Dosen Fakulta Ilmu Budaya Universitas Jember meraih gelar Doktor Sastra Lisan. Berikut hasil wawancara Hasan Sentot dengan Dr. Moh. Ilham.


1. Apa yang membuat Anda tertarik mengangkat Janger sebagai bahasan Disertasi?

Seni pertunjukan Janger Banyuwangi adalah salah satu teater rakyat di Indonesia yang mampu bertahan hingga saat ini. Tanpa perjuangan keras para seniman Janger beserta dukungan khalayak penggemarnya, kesenian ini tentu sudah mengalami keruntuhan sebagaimana dialami berbagai kesenian sejenis di tanah air.
Kondisi yang menimpa berbagai seni pertunjukan rakyat di Indonesia semacam ini juga sebagai akibat terjadinya persaingan antara seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern dalam memperebutkan pasar, karena pada saat ini seni pertunjukan tidak hanya berhubungan dengan ritual atau estetika semata, melainkan sudah berkaitan erat dengan nilai komersial.Semakin melemahnya daya tahan masyarakat di berbagai daerah dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaannya merupakan konsekuensi dari persaingan yang tidak berimbang antara budaya lokal ketika berhadapan dengan budaya global.
Fenomena kemampuan seni Janger dalam mempertahankan eksistensinya tersebut belum mendapat perhatian yang memadai dari Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten. Nyaris tidak ada “sentuhan” pemerintah terhadap kesenian ini. Sementara itu minat para pemerhati seni-budaya terhadap Janger juga relatif minim, sehingga sampai saat ini belum ada peneliti yang mengkajinya secara mendalam dan lebih komprehensif. Pada titik inilah tampak pentingnya penelitian terhadap seni Janger ini.Jumlah penelitian akademis, dan juga liputan media, terhadap seni Janger hingga saat ini tergolong minim dan kurang memadai jika dibandingkan dengan penelitian akademis dan liputan media terhadapsejumlah seni pertunjukan lainnya yang terkenal di Banyuwangi, misalnya seni tari Gandrung. Berbagai aspek seni tari Gandrung telah ditelaah para peneliti baik dari dalam maupun luar negeri, dan beberapa di antaranya terkesan mengulang-ulang. Selain itu, para peneliti seni pertunjukan Jawa, baik dari dalam maupun luar negeri, dalam berbagai penelitian menyebut dengan fasih Wayang Orang, Wayang Topeng, Wayang Kulit, Ludruk, Ketoprak, dan beberapa jenis teater rakyat Jawa lainnya, namun mereka tidak pernah menyinggung seni Janger Banyuwangi, seolah-olah kesenian ini memang tidak pernah ada di jagad seni pertunjukan Indonesia. Lihat, misalnya, sejumlah penelitian penting yang telah dilakukan James Brandon, Claire Holt, Umar Kayam, Helene Bouvier, Bernard Arps dan James L Peacock. Dengan kata lain, seni Janger Banyuwangi belum diberi tempat yang memadai dalam narasi besar seni pertunjukan Indonesia.

2. Meskipun Anda mendekati dari Tradisi Lisannya. Tentu punya kesimpulan kecil tentang Janger secara umum dibanding dengan Drama Tradisional lainnya di Jawa. Tolong bisa dijelaskan.

Bersama Ketoprak dan Ludruk, Janger merupakan kesenian rakyat produk awal abad ke-20. Kesenian khas Banyuwangi ini dapat dianggap sebagai contoh berlangsungnya diversity in unity (keberagaman dalam kesatuan) karena proses penciptaannya tidak bertumpu pada satu jenis kesenian dari etnis tertentu, melainkan pada berbagai jenis kesenian dari berbagai etnis yang kemudian dikreasi ulang sehingga memiliki kekhasan.
Janger Banyuwangi bukanlah produk sekali-tempa-jadi oleh tangan seorang empu sakti mandraguna,melainkan produk pergulatan panjang selama berpuluh-puluh tahun, oleh tangan-tangan piawai yang setia, ditempa di atas landasan pluralitas kebudayaan. Janger Banyuwangi adalah hasil kerja yang unik dan orisinal: sebuah karya multikultural. Bahasa pertunjukan yang terdiri atas bahasa verbal, bahasa gerak, bahasa musik, dan bahkan bahasa gambar, berasal dari idiom-idiom kultural masyarakat Banyuwangi.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pandangan dunia (world-view) masyarakat pengusungnya memiliki karakter semacam itu.

Meskipun berbeda bahasa, ketiga etnis besar di Banyuwangi, yakni Using, Jawa, dan Madura secara bersama-sama dapat menjadi pendukung Janger karena ketiganya memiliki visi dasar (common platform) yang sama. Masyarakat Using, Jawa, dan Madura adalah pemeluk agama Islam, dan Islam telah mewarnai kebudayaan mereka selama berabad-abad. Oleh karena itu jika dilihat dari ciri-ciri yang dimilikinya, Janger tidak dapat secara spesifik disebut sebagai kesenian Using, kesenian Jawa, atau kesenian Madura. Kesenian Using di Banyuwangi menunjukkan ciri-ciri khas Using, kesenian Jawa di Banyuwangi tetap sama dengan kesenian Jawa di daerah-daerah lain, demikian pula dengan kesenian Madura di Banyuwangi tidak ada bedanya dengan kesenian Madura di tempat asalnya. Janger adalah kesenian tradisional khas Banyuwangi. Dengan memberi porsi yang lebih besar pada unsur-unsur non-lisan di satu sisi, serta memperkecil porsi kelisanannya di sisi lain, Janger Banyuwangi kini menempatkan dirinya sebagai bagian dari budaya visual (visual culture); elemen kelisanan yang bersanding-padu dengan elemen-elemen visual inilah yang membentuk desain seni Janger pada saat ini.

Kasus bertahannya seni pertunjukan Janger Banyuwangi tergolong unik. Ini membuktikan bahwa jika globalisasi, pada satu sisi, telah mengaburkan batas-batas wilayah sehingga semua saling terkait satu dengan lainnya, namun pada sisi lain justru mendorong masyarakat Banyuwangi untuk memperkuat identitas dan lokalitas mereka. Dalam pertunjukan Janger, yang tampak di permukaan adalah penghiburan, kegembiraan, pertemuan para penonton dengan kawan-kawan mereka yang sama-sama menjadi pendukung pertunjukan. Tapi di balik semua itu mereka secara bersama-sama sedang membangun, atau membangun ulang, atau bahkan memperkokoh bangunan identitas kultural mereka. Melalui seni Janger masyarakat Banyuwangi menciptakan identitas kultural mereka sendiri.

3. Kalau dianalisis dengan teori pertunjukan modern, kira-kira apa yang bisa Anda jelaskan masalah Janger secara tekhnis. Pangung, Penguasaan Panggung, Penokohan, Penyutradaraan, Musik, Kostum dan tata lampu, serta penonton? (iki jabane dowo hahaha)

a. Panggung.
Panggung Janger dipenuhi oleh warna-warni yang berlebihan. Kelir dan kostum sama-sama penuh warna, sehingga terkesanjumbuh (tumpang-tindih). Mana yang lebih ditonjolkan, kelir (background) atau tokoh cerita?Sebaiknya lebih disederhanakan saja warna-warni kelirnya, sehingga para tokoh lebih tampak menjol.

Tata panggung Janger dilengkapi dengan tata cahaya, namun tata cahaya dalam pertunjukan Janger dapat dikatakan sederhana dan penggunaannya sering kali kurang fungsional, kurang terencana sebagai alat bantu penciptaan suasana adegan. Selain lampu yang menghasilkan cahaya putih terang, warna lain yang biasa digunakan adalah merah dan biru. Kategori sederhana di sini untuk menggambarkan bahwa pertunjukan Janger didonimasi oleh cahaya putih terang. Sesekali cahaya gelap atau redup, terkadang diselingi cahaya merah atau biru, dimunculkan untuk memberi aksentuasi pada adegan mistis, rahasia, atau horor. Adegan semacam ini sering juga disinari dengan lampu disko yang cahayanya berwarna-warni, berputar-putar atau berkedip-kedip, sementara lampu utama diredupkan atau bahkan dipadamkan sama sekali.
Pementasan Janger juga dilengkapi dengan tata suara (sound-system) untuk memudahkan penonton mendengarkan dialog di atas panggung dan musik pengiring. Sebagaimana halnya tata cahaya, tata suara dalam pertunjukan Janger juga dapat dikatakan sederhana, namun penggunaannya jauh lebih fungsional. Pada saat ini keadaan tata suara pertunjukan Janger sudah lebih baik dibanding dengan dekade 1980-an. Jika dulu hanya menggunakan speaker jenis membran dengan kualitas suara rendah, sekarang sound-system dilengkapi dengan salon dan audio-mixer yang mampu menghasilkan suara dengan kualitas bagus. Namun demikian, pertunjukan Janger memiliki kelemahan mendasar justru pada tata suara. Akting dan vokal para pemain sering terganggu karena mereka harus memegang mike, dan kadang-kadang mike itu mati sehingga dialog tidak terdengar.

b. Pemain.
Para wayang Janger berasal dari berbagai kalangan. Namun, sebagian besar adalah seniman-seniman berpendidikan formalrendah, dengan mata pencaharian khas masyarakat bawah: kuli bangunan, tukang kayu, pedagang kecil, atau buruh tani. Meskipun demikian, mereka adalah para seniman dengan dedikasi tinggi. Pada siang hari mereka bekerja sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing, pada malam hari mereka berkumpul demi terselenggaranya pertunjukan Janger. Bagi mereka, berkesenian sama seriusnya dengan bekerja, suatu profesi, suatu mata pencaharian, sekaligus suatu kegembiraan. Idealisme berkesenian mereka tidak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang: seni untuk seni. Mereka berkesenian untuk bekerja, sekaligus untuk mencari kegembiraan rohani. Karena itu hal-hal apa saja yang boleh atau tidak boleh memengaruhi pementasan mereka tidak melalui saringan estetis yang ketat, melainkan berdasarkan pertimbangan disukai atau tidak disukai penonton, juga apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan diri mereka sendiri.
Kondisi semacam itu dapat merugikan seni Janger pada masa mendatang. Ketika penonton sudah semakin kritis, unsur-unsur estetis akan menjadi tuntutan utama. Oleh karena itu harus ada upaya sistematis meningkatkan kualitas teatrikal para aktorJanger.

c. Sutradara.
Pengarahan sutradara pada awal / sebelum pertunjukan sangat penting karena dalam pertunjukan Janger tidak ada naskah lengkap sebagaimana halnya dalam pertunjukan drama modern, yang ada hanya skema lakon. Dalam pertunjukan Janger, peran sutradara kurang menonjol, terutama peran kontrol terhadap pemain, sehingga secara teknis mengakibatkan terjadinya pertunjukan yang lemah, misalnya pemain yang ngelantur, tidak konsentrasi, bahkan mengantuk di atas panggung.

Tidak semua grup Janger memiliki sutradara tetap. Seorang sutradara Janger bisa menangani dua hingga tiga grup sekaligus.Langkah inovatif/kreatif biasanya dilakukan oleh seorang sutradara tetap. Hanya menangani sebuah grup Jangermembuatnya memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk berkreasi dan berinovasi.

d. Musik.
Secara teknis, meskipun pada awalnya gamelan Janger adalah berasal dari musik Bali (gong kebyar), namun tidak dapat disamakan begitu saja dengan musik Bali. Warnamusik Janger adalah perpaduan tiga warna musik, yakni Jawa-Bali-Banyuwangi, sehingga musik pengiring pertunjukan Janger Banyuwangi sudah pantas disebut sebagai “gamelan Janger”.
Sampai saat ini musik Janger masih bertahan dengan keadaannya yang khas tradisional, tidak “dirusak” oleh kehadiran alat-alat musik modern seperti keyboard dan drum.

e. Artistik.
Era teknologi informasi telah mendorong terciptanya “budaya visual”, yakni suatu budaya yang didominasi unsur-unsur visual, khususnya bentuk-bentuk visual yang dikonstruksi melalui teknologi elektronika dan digital. Era teknologi informasi memberi tantangan besar pada eksistensi dan kelangsungan hidup seluruh produk budaya lisan tradisional, termasuk seniJanger. Namun tampaknya para seniman Janger cukup cekatan dalam menghadapi hal ini. Beberapa sutradara Janger pada saat ini memilih menempatkan aspek visual pertunjukan Janger dalam kedudukan yang setara denganaspek musikal dan kelisanannya.
Tata artistik pertunjukan Janger seharusnya mendapat porsi perhatian yang lebih besar besar. Dua kelemahan mendasar terletak pada: 1) Property, atau perangkat pendukung artistik, misalnya kursi untuk para tokoh cerita. Seringkali kursi yang digunakan kursi seadanya (kursi plastik), hal ini merusak keselarasan tata artistik. 2) Tata busana, atau kostum, sering bermasalah terutama dalam hal logika, yakni kurang mencerminkan peran si pemakainya. Misalnya busana patih terkadang tampak lebih bagus daripada busana raja, atau busana dayang/emban tidak jarang terlihat lebih berkilau dibanding busana permaisuri atau putri raja. Hal ini terjadi karena sebagian besar pemain memiliki dan menyiapkan kostum mereka masing-masing, merawat dan terus memperbaiki kondisinya. Seorang pemain perempuan seringkali tidak ingin tampak tidak cantik dalam penampilannya, meskipun dia sedang berperan sebagai emban atau perempuan desa. Agaknya kostum yang glamor, tampak mewah dan berkilau-kilau, menjadi pertimbangan utama bagi sebagian besar pemain, bukan didasarkan pada kepantasan maupun kesesuaian penokohan. Bahkan sepasang suami-istri tua dari golongan rakyat jelata yang tinggal di desa, dalam lakon Kebo Mancuet oleh grup Janger Dharma Kencana, mengenakan pakaian model rakyat tapi tampak mewah berkilau karena delengkapi dengan banyak manik-manik. Dengan demikian sebagian besar kostum Janger tidak selaras dengan tokoh-tokoh yang digambarkan berasal dari kelas bawah.

f.Penonton.
Pada saat pertunjukan berlangsung, khalayak terus berdatangan satu per satu, langsung mencari tempat yang dianggap nyaman untuk menonton. Tidak semua penonton memusatkan perhatian ke arah panggung secara terus-menerus, kecuali pada saat adegan menarik disuguhkan. Lawak, adegan perang yang penuh dengan atraksi akrobatik, dan nyanyian selingan merupakan contoh bagian pertunjukan yang dianggap menarik, sehingga para penonton lebih bersungguh-sungguh menyaksikannya. Adegan-adegan tersebut memerlukan persiapan, dan memang digarap dengan sungguh-sungguh sebagai daya tarik.

Keadaan seperti ini sering mendorong para sutradara Janger untuk mengekploitasi secara berlebihan hal-hal yang disukai para penonton. Segmen Gebyar Lagu-lagu / Janger Berdendang, misalnya, terkadang berdurasi lebih dari satu jam. Lagu-lagu yang berfungsi sebagai selingan seharusnya tidak diberi porsi yang berlebihan.

4. Dari tokoh-tokoh Janger yang Anda temui, ada nggak perbedaan Janger dulu awal perkembangannya hingga saat ini? Kalau menurut Anda, sudah jauh menyimpangkah Janger sekarang dengan pakem yang Ada.

Pertunjukan Janger secara dominan menggunakan bahasa Jawa. Hal ini seharusnya mendorong para pemain untuk terus belajar menggunakan bahasa Jawa, baik dalam bentuk dialog biasa maupun tembang. Kemampuan berdialog harus didukung oleh kekayaan diksi, dan hal ini tidak bisa dicapai selain dengan belajar keras dan terus-menerus. Sejalan dengan hal itu, kemampuan menembang juga diperoleh dari upaya berlatih secara telaten. Tampaknya saat ini kemampuan berdialog dan menembang kurang dimiliki oleh para aktor muda. Mereka harus memperkaya diksi dan kemampuan nembang sehingga mencapai kemahiran seperti yang dimiliki Sugiyo, aktor senior dari Banje.
Seni Janger telah memiliki pakemnya sendiri, dan pakem inilah yang membedakan Janger dari kesenian-kesenian lain. Namun demikian, Janger masih boleh berkreasi dan mengevaluasi pakem yang mendasarinya. Ketoprak Humor (pernah popuker di Stasiun RCTI pada akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an) cenderung mengabaikan pakem atau patokan yang biasa dianut seni ketoprak pada umumnya, dan hal itu justru mampu membuat seni tradisional itu tampil lebih segar daripada aslinya. Tapi hal semacam ini bukannya tidak berresiko. Cita rasa ketoprak tradisional harus direduksi, diganti dengan cita rasa pasar. Akibatnya jelas: unsur estetis dikorbankan. Hal ini juga terjadi pada beberapa pertunjukan Janger. Jika tidak terkendali, Janger akan terjerumus pada selera pasar, laris tapi minim kualitas.

5. Menurut Anda, perkembangan Janger ke depan perlu dikembalikan ke bentul awal dengan terus mengupdate ilmu panggung kekinian, atau dibiarkan saja berkembang menyesuaikan dengan selera pasar?

Janger berkembang sesuai dengan gerak jaman. Hal ini jelas tak terhindarkan. Namun yang harus diwaspadai adalah perkembangan yang “liar”, yang tidak terkontrol.
Dalam banyak hal, Janger masih memegang nilai-nilai kultural yang menjadi pondasi kesenian ini. Keadaan ini harus dipertahankan, supaya tidak bernasib seperti musik kendang-kempul yang secara serampangan telah dirusak dengan dihilangkannya unsur kendang dan kempul. Dengan keadaannya yang seperti itu, musik kendang-kempul telah menjadi genre dangdut atau pop daerah belaka, tidak pantas disebut kendang-kempul lagi. Semoga musik Janger tidak demikian.

6. Bagaimana dengan manajemen Group Janger yang Anda ditemui? Sudah solidkan sebagai kelompok kesenian tradisional?

Manajemen Janger secara umum terdiri atas dua jenis, yakni sistem organisasi (grup Janger dimiliki oleh suatu kelompok/organisasi) dan sistem juragan (grup Janger dimiliki oleh seorang juragan/bos). Kedua sistem ini membawa konsekuensi yang berbeda-beda. Namun secara umum sistem organisasi lebih menjamin adanya kontrol terhadap perkembangan estetis, tidak mudah terjebak pada selera pasar.

7. Apa Kritik Anda terhadap Janger secara umum?

a.       Masalah Pewarisan. Sistem pewarisan seni Janger masih tanpa mekanisme. Banyak grup Janger yang belum memikirkan regenerasi. Energi grup-grup Janger besar habis tersedot oleh jadwal pementasan yang padat. Jika hal ini terus berlangsung, tidak mustahil Janger akan mengalami nasib yang sama dengan Praburoro. Karena itu perlu dipikirkan proses pewarisanJanger yang sistematis dan terencana, demi memeroleh sumber daya manusia terbaik untuk menopang kelangsungan hidup seni Janger di masa depan.
b.      Masalah estetika. Grup-grup Janger sering disibukkan oleh pemahaman yang keliru mengenai “bagaimana menyenangkan penonton”. Akibatnya mereka tidak berkeinginan kuat untuk menyeimbangkan antara “nilai hiburan” dan “nilai estetis”.
c.       Durasi Pementasan. Karena terlalu asyik dengan hiburan selingan yang berlarut-larut, pementasan Janger sering molor hingga pukul 5 pagi. Manajemen waktu harus ditata secara ketat sehingga pertunjukan berakhir sebelum subuh. Bahkan kalau bisa harus selesai lebih awal, misalnya pukul 1 atau 2 malam. Hal ini untuk mengakomodasi kebutuhan penonton masa kini yang harus beraktivitas pada keesokan harinya.

8. Apakah masih ada ruang untuk mengedukasi penonton Janger? Atau sebegitu pentingkan penonton ini agar mempunyai wawasan tengan kesenian tradisional ini?

Jika Janger ditinggalkan penontonnya, maka tamatlah kesenian ini. Meskipun yang membayar pertunjukan bukan penonton, tapi si penanggap, namun pertunjukan Janger tidak akan berarti tanpa kehadiran penonton. Nah, agar penonton tetap setia, tetap suka terhadap Janger, harus ada komunikasi dua arah. Maksudnya, di satu sisi Janger memiliki kemampuan menyerap keinginan penonton dan di sisi lain mampu mempertahankan dan bahkan mengembangkan nilai-nilai estetis pertunjukanJanger. Penonton bukanlah kerumunan orang-orang bodoh, namun sebagian besar dari mereka adalah orang-orang berselera estetis tinggi. Oleh karena itu setiap grup Janger harus berhati-hati memaknai konsep “selera pasar”.

9. Apa Saran Adan terhadap pengelola kesenian Janger serta instansi pemerintah daerah terkait, agar potensi kesenian daerah ini menjadi ideal sebagai tuntunan selain sebagai tontonan..???

Kemunduran yang massif seni pertunjukan di Indonesia antara lain diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang lebih menitikberatkan pengembangan ekonomi daripada kebudayaan. Kebijakan kebudayaan di Indonesiatanpa disadari justru telanmengubah dan merusak seni-seni pertunjukan tradisional, baik melalui campur tangan, penanganan yang berlebihan, kebijakan-kebijakan tanpa arah, dan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap kebijakan kultural atau konteks kultural. Artinya, jika ingin melestarikan seni-budaya pemerintah harus memiliki rumusan yang lebih jelas dan terarah mengenai pelestarian nilai-nilai kultural dan produk-produk seni-budaya bangsa. Jika tidak, hasilnya justru perusakan kebudayaan.

Pelaksanaan pelestarian nilai-nilai kultural di suatu negara, atau di suatu daerah, selalu menghadapi persoalan pelik setidaknya dalam dua hal, yakni bagaimana mempertahankan nilai-nilai kultural tersebut dan bagaimana mentransmisikannya pada generasi berikutnya. Mentransmisikan nilai-nilai kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah tanggung jawab semua pihak yang terkait, namun peran strategis biasanya berada di tangan pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Peran itu, dalam wujudnya yang paling awal, berupa kebijakan jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang, yang biasanya secara formal tertuang dalam keputusan-keputusan atau peraturan-peraturan daerah. Di Banyuwangi, keberpihakan Pemkab terhadap pertumbuhan seni pertunjukan rakyat belum sungguh-sungguh menggembirakan.

2 comments:

  1. Luar biasa. Kesenian Banyuwangi memang dibutuhkan masyarakatnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih.. Ayo ditunggu Disertasi Seni Pertunjukan Banyuwangi lainnya dari para punggawa di FIB...

      Delete