Total Pageviews

Monday, February 21, 2011

BERBURU "CUWUT' (TUPAI) BERHADIAH KELAPA

Banyuwangi, selain dikenal sebagai pengahasil padi terbesar di Jawa Timur, juga dikenal sebagai penghasil kelapa. Tumbuhan kelapa, selain banyak ditemui di pinggiran pantai. Juga banyak tersebar di seluruh daerah pertanian lahan kering, atau orang Banyuwangi menyebut "Kebonan". Selain memilik lahan pertanian yang ditanami padi, petani di Banyuwangi sekalgus memilik lahan kebonan yang ditanami kelapa. Nah, banyaknya pohon kelapa itu, ternyata juga dibarengi dengan banyak hama yang menyerang. Dulu hama yang menjadi momok pemilik pohon kelapa adalah Tupai (Callosciurus notatus Boddaert), atau "CUWUT". Bahkan siapa saja yang bisa menangkap "cuwut", pemilik kelapa akan mereka buah kelapan diambil beberap butir oleh pemburu "Cuwut" itu.


Tidak ada sumber tertulis, mengenai tradisi berburu "cuwut" berhadiah buah kelapa ini. Namun tradisi yang lebih dekat dengan hukum adat itu, ternyata berlangsung sudah puluhan tahun. Menurut cerita lisannya, tradisi ini berawal dari sikap pemilik pohon kelapa (tentu yang jumlahnya lebih dari ratusan pohon dan merupakan penghasilan utama), atas momok yang merusak tanaman mereka. Saking banyaknya "cuwut" itu, kadang bisa mengancam pemilik kepala gagal panen. Ulah para Cuwut ini memang keterlaluan, meski dari bawah buah kelapa terlihat masih utuh. Namun setelah diambil, ternyata sudah berlubang dan isinya sudah habis.

Merasa resah karena penghasilan berkurang, maka seorang pemilik kelapa saat itu, langsung berujar (atau semacam menggelar sayembara tak resmi), barang siapa berhasil menangkap cuwut, baik dalam keadaan hidup maupun sudah mati, maka mereka boleh mengambil kelapa di pohon tempat ditemukan cuwut itu. Sampai sekarang, saya belum mengetahui ketentuan resminya, berapa butir kelapa yang boleh diambil setiap saekor cuwut yang ditangkap.

Awalnya, trasaksi pemburuan cuwut dan pemberian buah kelapa itu, selalu disaksikan oleh kedua belah pihak. Namun dalam perkembangannya, ternyata pemburu cuwut tidak harus menghubungi pemilik pohon kelapa lebih dulu, setelah mendapatkan cuwut dan mengambil hadiahnya. Sehingga pemburu cuwut yang tidak punya pohon kelapa, tetapi selalu pulang membawa puluh butir kelapa, tidak dicuragai sebagai pencuri buah kelapa. Bahkan orang lain yang mengetahui aksi pemburu cuwut menurunkan buah kelapa bukan miliknya, langsung pagama dan mahfum, jika itu proses hukum adat yang sedang berjalan.

Memang dalam perkembangannya, ada pihak-pihak yang nakal. Banyak pemburu cuwut menjadikan tradisi ini sebagai tameng, untuk mengambil kelapa yang bukan miliknya. Misalnya, ia memburu cuwut di tempat lain, tetapi mengambil kelapa juga di tempat berbeda. Saat ditegur orang lain atau pemilik pohon kelapa sendiri, ia menunjukan cuwut yag telah didapat. Bahkan. banyak kelapa yang didapat, justru terlihat berlebih dibanding dengan perolehan cuwutnya. Misalnya dalam sebuah pemburuan, ia hanya mendapatkan 5 ekor cuwut, tetapi bisa membawa lebih dari 20 butir buah kelapa. Kondisi ini, biasanya tidak berlanjut ke masalah hukum positif. Pemilik kelapa yang merasa dicurangi, memilih mengalah, karena ini dianggap sebagai tradisi.

Saya tidak tahu, apakah tradisi ini sekarang masih berlaku. Terutama di kawasan-kawasan penghasil kelapa seperti di Kecamatan Kabat, Rogojampi, Songgon, Srono dan sejumlah kawasan lainnya. Setahu saya, saat itu pemburu cuwut biasanya berasal dari Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi. Orang-orang di desa ini, dikenal sebagai pemburu binatang yang ulung. Selain cuwut, katak, ular dan sejumlah binatang lainnya, sudah menjadi pekerjaan rutinnya.

Jika sebelumnya banyak pemburu cuwut masih menggunakan TULUP, tetapi sekarang banyak yang beralih menggunakan senapan angin. Knedati demikian, tradisi mereka mengambil kelapa saat mendapatkan mangsa, tetap tidak ada yang memprotes atau mengontrol, apakah sudah sesuai aturan atau seenaknya sendiri. Di sini, banyak unsur permakluman jika menemui kejadian-kejadian yang demikian.....

1 comment: