Total Pageviews

Sunday, February 20, 2011

Transeksual Dalam Panggung Kesenian Tradisional

Saat saya posting status di Facebook, tentang Seni Tari Gandrung Marsan mewakili Jawa Timur dalam festival seni tari tingkat Nasional, ada teman yang gelisah atas banyaknya pelatih Tari Banyuwangi yang cenderung didominasi kaum wadam (wandu: Using) atau transeksual. Bahkan dalam Tari Gandrung Marsan yang dikomandani Sobari Sofyan, memang kebanyakan pelakukan juga waria. Mereka seakan ingin menegaskan, bahwa Gandrung yang menjadi icon Banyuwangi itu dulunya diperankan seorang laki-laki (Gandrung Lanang).
Namun saat gladi bersih di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, mendapat kritik keras dari pengamat seni pertunjukan. Salah satunya adalah dominasi gerakan tari yang gemulai. Sang pengamat ini menghendaki, saat perpindahan penari bergaya perempuan ke sosok aslinya sebagai seorang pria, tidak saja diwujudkan dengan atribut kumis yang dikenakan seluruh penari, melainkan mereka secara total dalam bentuk gerakan juga menampilkan sosok laki-laki yang kekar. Tentu dengan gerakan-gerakan yang relatif kasar, kadang cenderung marah.
Masalah Gandrung Lanang, itu adanya lebih tua dibanding gandrung perempuan, sekitar tahun 1814 dengan penari terakhir bernama Marsan. Namun sejak tahun 1914, Gandrung Lanang sudah tidak dijumpai lagi, sejak meninggalnya Marsan. Tentu, saat itu Gandrung bukan sebagai pertunjukan komersial, tetapi bagian ritual yang harus dilakukan petani (Masyarakat Agraris) seperti yang tersisa sekarang, yaitu Tradisi Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan.
Penari Gandrung perempuan pertama bernama Semi, juga hidup pada massa setelah Marsan, atau setelah era Gandrung Lanang. Menurut sejumlah literatur yang saya baca, bergesernya Gandrung Lanang ke Gandrung Wadon (Perempuan), tidak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam di Banyuwangi (Blambangan saat itu). Mengingat dalam syariat Islam melarang adanya perilaku yang “kemayu” dan “lembeng”.
Namun saya kurang setuju terhadap analisis ini, karena justru ormas Islam lah yang banyak menggunakan laki-laki sebagai sebagai Tokoh perempuan dalam panggung. Seperti dijumpai dalam Kesenian Drama Rengganis atau Prabororo dan Drama Modern dengan cerita-cerita penyebaran Islam di Timur Tengah yang dikembangkan LESBUMI, sayap Organisasi NU di bidang Seni Budaya.
Menurut keterangan yang pernah saya himpun dari pelaku-pelaku kesenian itu, mereka sengaja menggunakan Laki-laki berperan sebagai tokoh perempuan di panggung, karena adanya “larangan” menurut syariat Islam tampilnya perempuan dalam panggung yang cenderung dieksploitir. Bahkan ada juga yang menyatakan haram.
Tentu casting terhadap mereka yang layak menjadi tokoh perempuan, melalui pertimbangan khusus. Sehingga tidak jarang, para laki-laki ini bisa tampil luwes dan kadang “kecantikanya” mengalahkan perempuan aslinya. Para “perempuan jadi-jadian” ini akan kembali berkativitas sebagai laki-laki dalam kehidupan keseharian, mereka menghilangkan atribut perempuan di panggung. Mereka juga banyak yang sudah beristiri dan melalukan aktivitas “kasar” sebagaiman umumnya laki-laki.
Namun tidak sedikit dari “perempuan jadi-jadian” ini terlalu menghayati perannya, sehingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari, terutama sifat “lembeng” dan “kemayunya”. Ada juga yang menghendaki, agar si “perempuan jadi-jadian” ini sengaja mempertahankan penampilannya seperti di panggung. Tentu orang ini (maaf) tidak normal, karena tertarik sesama jenis. Inilah faktor awal banyaknya seniman panggung “menjadi wandu” (transeksual). Sementara tokoh yang mencasting mereka menjadi “perempuan” ini, banyak yang tidak peduli terhadap perkembang psikis dari pelakon-pelakon panggung yang tiba-tiba berubah penampilan hingga orientasi sekseualnya.
Kasus ini seperti bisa diurai, jika ada yang mau menjelaskan “kesalahkaprahan” ini kepada seniman dan masyarakat umum. Sehingga tidak menjadi pembenar, bahwa senimam tari itu harus gemulai total. Bahkan banyak orang tua enggan mengijinkan anak laki-lakinya menjadi penari, karena takut “kebablasan” menjadi “gemulai” dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam panggung hiburan modern, ternyata mereka yang berpenampilan “melambai” inilah yang laris menjadi presenter hiburan. Lihat saja Televisi kita, sebagian besar presenter hiburan yang penampilannya “melambai”. Masalah dia transeksual atau tidak, itu urusan mereka, tetapi publik ternyata menyukai “peran” demikian itu. Jadi ini seperti yang saya sebutkan di atas, penonton (Baca: Masyarakat), juga ikut andil dalam mengumbah perilaku seseorang. Tentu mereka yang berpandangan pragmatis, instan, ingin cepat populer dan ingin segera mendapatkan harta dari dunia hiburan. Wallohualam bissawab…..

No comments:

Post a Comment