Total Pageviews

Sunday, February 20, 2011

SASTRA USING AWAL ORDE BARU (4 Habis)

Setelah peristiwa G.30S/PKI meletus, seniman-seniman Daerah Banyuwangi yang terlibat di kancah politik banyak yang ditangkap penguasa Orde Baru, serta syiar lagu-lagu mereka dilarang untuk dkundangkan. Kebijakan Orba ini, sangat berpengaruh terhadap perkembangan Sastra Using. Media satu-satunya, rekaman dan kesenian Daerah justru dilarang. Bahkan pelarangan itu, berdampak terhadap ketakutan warga Banyuwangi, baik mendengarkan apalagi menyanyikan syair lagu-lagu Daerahnya sendiri. Kebanyakan lagu-lagu Daerah Banyuwangi yang popular saat itu, pengarangnya diindikasikan terlibat dalam sayap organisasi PKI (LEKRA) yang kemudian dinyatakan partai terlarang di Indonesia oleh Pemerintah Orde Baru.


Menjelang akhir tahun 1969, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mulai intesif melakukan pembinaan. Apalagi setelah mendapat undangan dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang dipercaya sebagai penghibur Kontingen Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-7 di Surabaya. Pengiriman misi kesenian ini, mengacu kepada bentuk kesenian tradisional asli, sebelum adanya mondifikasi daeri Organisasi Politik pada saat itu. Lembaga Kesenian Nasional (LKN), sebagai sayap organisasi Partai Nasional Indonesia mempunyai Kesenian Angklung LKN dengan format sendiri. Begitu juga PKI (Partai Komunis Indonesia), mempunyai format sendiri dengan nama Angklung Genjer-Genjer. Kedsenian Angklung Banyuwangi yang dibawa ke PON mengambil fortmat Angklung Caruk, yaitu terdiri 2 (dua) Ancak Angklung (slendro) dengan hiasan ular kepala Gatutkaca; 6 (enam) saron atau peking; 2 (dua ) slenthem/demung dan 1 (satu) kendang Banyuwangian atau Kendang Lanang

Pada tahun 1970, Presiden RI, Soeharto mengadakan kunjungan tidak resmi ke Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar Banyuwangi. Kendatangan penguasa Orba ini disambut hiburan kesenian Angklung dan Tari-Tarian Khas Banyuwangi. Waktu ramah-tamah dengan pejabat Muspida Banyuwangi, Presiden Soeharto menyatakan kepuasannya atas hiburan kesenian Banyuwangi. Pada kesempatan itu, Presiden menganjukan kepada Bupati agar melestarikan dan mengembangkan kesenian Daerah sebagai potensi daerah.

Kepada Presiden Soeharto, Bupati Banyuwangi pda saat itu, Djoko Supaat Slamet menyatakan terus terang, bahwa<strong> Kesenian Angklung</strong> ini pernah digunakan PKI sebagai alat propaganda. Namun Soeharto kembali menanyakan, apakah sebelum digunakan sebagai alat propaganda kesenian Angklung itu sudah ada. Saat dijawab jika Kesenian Angklung sudah ada sebelumnya lahirnya PKI, maka Soeharto meminta agar pengembangannya mengacu kepada Kesenian Angklung asli sebelum dimasuki unsur politik dan digunakan alat propaganda.

Anjuran dari Pemimpin tertinggi di Republik Indonesia itu, disambut positif oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Bahkan Bupati Banyuwangi, Djoko Supaat Slamet  langsung menerbtkan Surat Keputusan SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970. Dalam SK Bupati itu diatur keberadaan Kesenian Daerah. Semua bentuk dan organisasi Kesenian Daerah di Banyuwangi, harus mendaftar di Kepala Seksi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan( Dinas P dan K) Pemkab Banyuwangi. Tujuan dari SK Bupati ini, agar mudah memantau perkembangan Kesenian Daerah Banyuwangi. Selain itu. Juga sebagai control agar tidak terulang lagi pemamfaatan untuk alat propaganda politik. Meski pada perkembangan selanjutnya, Kesenian Daerah juga digunakan alat propaganda oleh Partai Politik Penguasa, uitu GOLKAR.

Dampak nyata dari terbitnya SK Bupati itu, maraknya jumlah pementasan Kesenian-Kesenian Daerah Banyuwangi. Rakyat tidak lagi takut mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu Daerah Banyuwangi. Mengingat lagu-lagu Daerah Banyuwangi yang dipopulerkan ke masyarakat sudah melalui proses seleksi yang cukup ketat. Mereka yang menjadi anggota sensor, selain pejabat dari Pemkab Banyuwangi, tentu juga anggota Kodim Banyuwangi. Namun rakyat sebagai penikmat, tidak memasalahkan sensor tersebut. Bagi mereka, ada jaminan keamanan dalam berkesenian dan menikmati seni daerahnya, itu sudah lebih dari cukup.

Gairah baru dalam berkesenian di Banyuwangi, juga mulai terasa dalam perkembangan Sastra Using. Media penyebaran Sastra Using kembali membawakan dan meciptakan karya-karya baru, seperti dalam kesenian Angklung, Gandrung, Keroncong dan Orkes Melayu. Pemkab Banyuwangi tidak saja sebagai “penabubung gendering” dalam berkesenian, namun juga memberi contoh nyata dengan memamfaatkan Lembaga Siaran Radio yang dimiliki. Melalui Radio Khusus Pemerintah (RKPD) Suara Blambangan, lagu-lagu daerah banyuwangi direkam dan disiarkan secara luas. Langkah ini cukup akurat, karena setelah penyiaran lagu-lagu daerah Banyuwangi lewat radio, kemudian muncul pengarang-pengarang baru.

Pada era tahun 1970-an ini, bisa dikatakan sebagai era kejayaan Kesenian dan Kesusastraan Using. Setelah lembaga pemerintah muncul sebagai pionir, mulai lahir Studio Rekaman Swasta yang bertujuan komersial. Namun demian, fungsi control terhadap materi-materi sebelum masuk dapur rekaman tetap harus ditempuh. Pertama muncul studio Rekaman Ria Record di Banyuwangi, kemudian disusul Sarinande Record di kota yang sama, Moro Seneng dan Permata Record di Kalibaru (kota Kecamatan) dan Kencono Record di Rogojampi. Mungkin Banyuwangi pada saat itu merupakan satu-satu Kota Kabupaten yang memiliki Studio Rekaman Kaset terbanyak. Meski demikian, Kesenian Daerah Banyuwangi, ada juga yang masuk dapur rekaman di Surabaya, serta Studio Rekaman milik Pemerintah (BUMN) Lokananta di Jawa Tengah.

Namun di tengah maraknya studio rekaman, sempat membuat  resah  pengelola Radio milik Pemkan Banyuwangi. Melalui Surat Edaran (SE) No. 51/RKPD/V’72, pengelola RKPD sebagai perekam pertama lagu-lagu daerah Banyuwangi, meminta kepada pemilik Studio rekaman yang marak di Banyuwangi, agar menghentikan peredaran dan penjualan kaset Lagu-lagu daerah Banyuwangi.  Surat Edaran yang ditandatangi oleh Ridwan selalu Wakil Pimpinan Studio RKPD Suara Blambangan itu, ditembuskan kepada Seniman dan Seniwati/ Misi Kesenian Pemkab Banyuwangi dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyuwangi. Tujuan diterbitkan SE itu, sebagai peringatan kepada pemilik Studio Rekaman dan mereka yang terkain dalam rekaman itu. Hak siar menurut Ridwan masih ada pada RKPD, sebagai perekam pertama. Namun lagu-lagu yang pernah direkam RKPD, ada sebagaian yang direkam ulang dan dikomersialakan. Padahal RKPD melakukan itu semua, karena ingin melestarikan Kesenian Daerah bukan untuk mencari keuntungan.

Teguran dalam bentuk SE ini, ternyata bukan sebagai penghalang  perkembangan kesenian dan kesustraan Using Banyuwangi. Bahkan sebaliknya, syair lagu-lagu daerah Banyuwangi menjadi semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakatnya. Bahkan orang Banyuwangi yang hidup dirantauan, selalui menjadi Kaset Lagu-lagu Daerah Banyuwangi sebagai souvenir. Mereka yang tidak sempat pulang, juga minta dikirim kaset-kaset itu sebagai obat rindu terhadap tanah kelahirannya. Tidak heran, pada masa ini lagu daerah Banyuwangi namanya semakin dikenal di luar Banyuwangi.

Pesatnya perkembangan sastra Using melalui media rekaman, juga menambah jumlah jenis musik pengiring. Jika sebelumnya sebatas pada kesenian gandrung, Angklung dan Keroncong, kemudian mucul Kelompok Band Pop dan Orkes Melayu. Tema yang dibawakan dalam sastra Using ini juga beragam, jika sebelumnya banyak berkisah tentang cinta dan asmara, kemudian mucul lagu dolanan anak-anak khas Banyuwangi dengan modifikasi di sana-sini. Kebanyakan para pengarang lagu-lagu daerah Banyuwangi pada masa ini, sudah mengencam pendidikan umum. Tidak heran, dalam melahirkan karya sastra juga dipengaruhi keberadaan Sastra Indonesia.

Sastra Using setelah tahun 1970-an, bisa disebut sebegai sastra rekaman, karena sebagian besar hasil karya sastra Using dikemas dan disebarluaskan melalui pita kaset rekaman. Pada era ini, juga diwarnai masalah gugat-gugat antara studio rekaman yang satu dengan studio rekaman yang lain. Mereka yang melakukan rekaman pertama kali, mengaku yang paling berhak dalam peredaran dan penjualan lagu. Masalah ini juga mendapat perhatian serius dari Pemkab banyuwangi, karena pada saat itu belum ada Undang-Undang Hak Cipta yang mengatur hak intelektual. Para pemilik studio rekaman juga mengaku tidak bersalah, karena lagu-lagu yang mereka rekam sudah seijin pengarangnya dan tentu dengan imbalan uang. Bagi pengarang sendiri, rekaman pada studio-studio sebelumnya juga tidak mengikat mereka untuk tidak menjual lagi ke pihak lain, karena nilai honor yang diberikan hanya sebatas sebagai seniman yang difunsikan sebagai produser, bukan hak atas karya yang diciptakan. Inilah benang kusut yang melingkuti Sastra Rekaman hingga tahun 1980-an. (HABIS)

No comments:

Post a Comment