Total Pageviews

Sunday, February 20, 2011

MENELISIK KEBERADAAN SASTRA USING (1)

Membecirakan Sastra Using, sama halnya dengan membecirakan Bahasa Using sebagai Bahasa tersendiri. Banyak orang yang ragu, apakah ada Sastra Using. Kalau ada, terus apa bentuk karyanya. Dibanding dengan Sastra Daerah lain yang berdekatan, seperti Jawa, Bali dan Madura, memang Sastera Using tidak sekaya ketiga Sastra daerah itu. Namun, bahwa ada tersendiri sastra Using, inilah yang perlu diungkapkan ke permukaan terlebih dahulu.


Sebagai kawasan yang berkembang di luar Keraton, tradisi Kesusastraan di Banyuwangi banyak menggunakan media lisan. Sehingga, agak kesulitan dan perlu kerja keras untuk merekonstruksi kehidupan Sastra Using pada masa silam melalui bukti-bukti tertulis. Namun dalam Ensiklopedi Indonesia (1987: 399) disebutkan: “Sampai  abag ke-18 masih ada penganut Agama Hindu dan bahkan aliran sastra yang disebut ‘Aliran Banyuwangi”. Misalnya naskah Sri Tanjung dan naskah Sang Satyawan berasal dari aliran itu. Pada masa Majapahit kedua cerita itu sudah terkenal, karena dipahat di teras Pendopo Penataran di Blitar”.

Dari pernyataan itu bisa disimpulkan, bahwa Sastra di Banyuwangi (dulu Blambangan) pernah mengalami kejayaan, dengan tampil beda dibanding karya sastra sejamannya. Ciri yang menonjol dari Sastra Banyuwangi adalah tradisi lisannya, seperti dikemukakan Van Stein Callenfels berupa ulasan kritis terhadao kitab Sudamala.  Bahwa dalam permulaan atau tengah kitab Sudamala, diteruskan secara lisan. (Kalangwan, Zoermulder 1985: 57). Penggunaan kata ‘mangke’ atau ‘mangko’ yang sering muncul dalam Sudamala, terkesan kaku dan kurang luwes. Bahkan bila dibaca keseluruhan, dalam karya itu (Sudamala) terkesan banyak varian. Mungkin ini adanya kesalahan dari tukang cerita, karena bisa ditambah atau berkurang saat karya itu disampaikan.

Pernyataan van Stein Callenfels ini diperkuat oleh Poerbatjaraka (1952: 81-81), jika kita Sudamala itu dianggap buatan orang Desa. Cara mencari “Ding-Dong” (persajakan) hanya menggunakan kata ‘mangke’ dan ‘mangke’ saja. Bahkan Poebatjarakan mengaku kesulitan menamakan Tembang dalam setiap pupuh di kitab Sudamala itu, karena tidak sama dengan pakem Jawa yang berlaku saat itu. Namun Zoemulder memastikan, jika Sumala dan Sri Tanjung itu termasuk dalam jenis Kidung. Meski ia kesulitan menyebut, apakah keduanya termasuk teks sastra atau bukan. Ciri yang paling menonjol adalah sifat kerakyatan dan tidak mempunyai latar belakang Keraton. (1985: 540).

Nah dalam perkembangan selanjutnya, ternyata gaya dan cara pengucapa Sastra Using ini tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan oleh para pakar Satra Jawa Kuno itu. Penggunaan kata  “eman”, “jare paman”, “alak emas”, “a-ang” dan “e-eng”, untuk sekedar menggenapi Guru Wilangan (jumlah kata), atau guru lagu (persamaan bunyi).

Apabila sudah yakin bahwa Sastra Using memang ada, tentu kita masih meragukan, jika hanya ditandai oleh tiga buah karya Sang Satyawan, Sudamala dan Sri Tanjung saja. Ternyata setelah Perang Puputan Bayu tahun 1772, mulai ada sejumlah karya Sastra di bumi Blambangan ini dalam bentuk tulis, yaitu Babad Blambangan, Babad Tawang Alun, Babad Wilis dan cerita-cerita tentang Kerajaan Macan Putih. Dalam perkembangan selnjutnya, Sastra Using kembali berkutat dalam tradisi lisan. Mungkin ini tidak bisa dilepaskan kondisi saat itu, Blambangan yang dijadikan bulan-bulanan Mataram dan selanjtnya oleh Belanda. Karya Sastra Using lisan yang paling menonjol adalan Podho Nonton.

PODHO NONTON

Podho nonton
Pundak sempal ring lelurung
Ya pendite pundak sempal
Lambeane para putra
Kejala ring kedung sutra
Tampange tampang kencana


Kembang menur
Melik-melik ring bebentur
Sun siram-siram alum
Sun pethik mencirat ati


Lare angon
Gumuk iku paculono
Tandurono kacang lanjaran 
Sak unting oleh perawan


Kembang gadung
Sak gulung ditawa sewu
Nora murah nora larang
Hang nowo wong adol kembang
Sun barisno ring Temenggungan
Sun iring payung agung
Lambeane membat mayun


Kembang abang
Selebrang tibo ring kasur
Mbah Teji balenono
Sun enteni ring paseban
Dung Ki Demang mangan nginum
Seleregan wong ngunus keris
Gendam gendis kurang abyur

Bentuk dan isi syair Podho Nonton ini sangat bebas, tidak terikat guru lagu dan guru wilangan seperti yang lazim dalam Sastra Jawa. Syair tersebur sudah tidak diketahui nama penciptanya, namun menjadi pakem dalam setiap ritual Seblang dan pementasan kesenian Gadrung.  Namun alamrhum Hasan Ali (Budayawan Banyuwangi) kepada penulis pernah mengatakan, jika syair Podho Nonton itu dibuat sekitar tahun 1800-an. Selain itu masih ada lagi karya Satra Using Klasik, yaitu Seblang Lukinta, Sekar Eleg, Tajog, Kabor, Terong Condong, Bebarongan, Tanjung Burung dan masih banyak lagi.

Akibat mengandalan perkembangan tradisi lisan, adanya perbedaan satu dengan lainnya juga mulai muncul. Seperti syair podho nonton tadi, bisa berkembang menjadi beberapa judul, karena hanya dinyanyikan dalam satu bait dan diberi judul tersendiri. Padahal, karya itu merupakan satu kesatuan. Sehingga dalam masyrakat Using pada waktu itu ada yang menyebut judul Kembang Menur; Kembang Gadung dan Kembang Abang.  Inilah yang disebut Suripan Sadi Hutomo (1991:12) sebagai kelemahan sastra lisan, karena dalam perjalanan dari generasi ke generasi berikutnya adan mudah terjadi penyimpangan dan penyelewengan kosa kata yang akhirnya mempengaruhi isinya.

Sastra Using Klasik kebanyakan disosialisasikan dalam ritual Seblang, baik yang di Oleksari maupun Bakungan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kesenian Gadrung juga masih menjadikan Syair Podho Nonton sebagai pakem pembukan, serta diakhiri dengan Seblang Subuh. Pada kesenian Gadrung inilah, kemudian muncul karya Satra Using yang lebih baru. Meski dalam sosialisasinya masih menggunakan lisan, tetapi sudah dalam bentuk rekaman kaset. Sehingga penyimpangan teks dan salah ucap bisa ditekan, kendati tdaik bisa seratus persen. Ini semata-mata akibat mutu rekaman yang kurang bagus, sehingga harmonisasi vokal dan instrumen musik tidak imbang.  Sehingga pendengar, juga masih meraba-raba jika ada kosa kata yang tidak jelas diucapkan.

Dari segi tema memang mulai ada pergeseran, karfena sesuai dengan situasi. Jika sebelumnya banyak bercerita tentang pembberonakan, kepahlawan dan hakekat hidup, pada kesenian Gadrung syairnya banyak bercerita tentang percintaan, selain masih mengembangkan tema kepahlawan dan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyrakat Using.

Dari jenis nyang digunakan, tidak lagi dalam bentuk Tembang secara utuh dan menyeluruh. Namun lebih banyak dalam bentuk karya Puisi, dengan pola memertahankan puisi tradisional seperti dalam bentuk Wangsalan (teka-teki), Basanan (pantun), Syi’iran (syair) dan ungkapan-ungkapan khas Banyuwangi. Ada beberapa karya Sastra Lisan yang  terbaru dan sering dibawakan kesenin Gandrung, yaitu Opak Apem; Keok-Keok; Erang-Erang; Thethel-Thethel; Kusir-Kusir; Gurit Mangir; Embat-Embat; Sawunggaling; Jaran Dawuk dan masih banyak lagi. (BERSAMBUNG ……..)

No comments:

Post a Comment