Total Pageviews

Monday, November 28, 2011

MENCATAT SEJARAH MELALUI GENDING BANYUWANGI

Sosok BS Noerdian, sudah tidak asing lagi bagi penggemar Lagu-Lagu Daerah Banyuwangi. Selain karyanya cukup banyak, juga kiprahnya terhadap kesenian Daerah Banyuwangi dimulai sejak masih sekolah menengah pertama. Dari sejumlah lagu daerah Banyuwangi yang populer, banyak juga diantaranya karya BS Noerdian.

BS Noerdian lahir tanggal 5 Januari 1934 di Banyuwangi, dengan nama Basyir anak dari Mohammad Noer Sadan. Bakat keseniannya diakui berasal dari kakeknya (orang tua dari Ibu) yang bernama Mad Dardji almarhum. Sang Kakek yang orang Kelembon, Kota Banyuwangi, dikenal sebagai pendiri Kesenian Damarulan atau Janger (Drama Tradisional Banyuwangi). Saat usia memasuki SMP, Basyir kecil sudah akrab dengan kesenian tradisional. Bahkan aktivitas kakeknya dimulai sejak tahun 1920-an, setelah itu juga muncul kesenian Angklung atau Balin-Balian (Tabuhan Bali).

Saturday, March 12, 2011

MENAK JINGGO: MELAWAN MITOS DENGAN MITOS BARU

Pengertian mitos atau mite menurut JS Badudu (1986:45) adalah dengeng atau cerita tentang dewa-dewa atau pahlawan-pahlawan yang dipuja-puja. Keberadaan tokoh mitos, seperti diuraikan pakar Folklor, James Danandjaja,  meski sebagai pribadi pahlawan-pahlawan mitos itu tokoh sejarah, namun riwayat hidupnya yang kita kenal dalam mite, bukan sejarah itu sendiri. Riwayat itu tidak diambilkan dari pribadi asli tokoh sejarah, melainkan diambil dari riwayat tradisional yang masuk dalam folklore (1984:60).

Tuesday, March 1, 2011

KAMPUNG SENI WATUDODOL KAPAN DIREALISASI?I

Gapura Kejut saat memasuki kawasan Watododol Banyuwangi, salah satune ide dari Bupati Banyuwangi kala itu, Samsul Hadi. Bahkan Samsul yang aseli kelahiran Banyuwangi dan kebetulan dari etnis Using, ingin melengkapi kawasan Watudodol saat itu, dengan membangun Kampung Seniman (Antogan Seni) di Bukit seberang Pantai Watudodol. Sejumlah prasarana sudah disiapkan saat itu, namun sebelum gagasan itu dilaksanakan, Samsul keburu habis masa jabatan, serta masuk bui karena terlibat kasus korupsi.

Monday, February 28, 2011

ANDANG CY, GURU PENGARANG SYAIR LAGU USING

Terlahir dengan nama Andang Chotif Yusuf, pada tanggal 19 Sepetember 1934 di Banyuwangi. Orang tuanya bernama Subandar, sedangkan nama Yusuf di belakang namanya diambil dari nama orang tua angkat yang membesarkannya, yaitu Safi’I Yusuf. Pendidikan terakhir yang pernah ditempuh adalah Sekolah Guru B, pada tahun 1953 di Bondowoso. Waktu masih sekolah Guru, Andang sudah aktif terlibat dalam kegiatan kesenian, antara lain menyutradarai pementasan Drama berjudul Emas Disangka Loyan.

SIMBOL “ULAR KEPALA GATOTKACA” DAN SALAH TAFSIR

Wacana akan mengganti simbol “Ular Kepala Gatotkaca” oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, sempat memanaskan telinga Budayawan Banyuwangi, serta rakyat Banyuwangi yang tahu persis simbol itu sudah bertengger di Ancak Angklung Caruk sejak kesenian itu ada. Latar belakang penggantian itu, ternyata akibat ketidaktahuan sang Bupati atas makna simbol yang banyak ditemui di Pemkab Banyuwangi dan sejumlah Prasasti itu.  Menurut Bupati Anas, ia tidak ingin simbol itu membelenggu rakyat Banyuwangi, karena sifatnya dianggap seperti “ular” (ngulo). Mereka hanya menganggap “Ular Berkepala Manusia” bukan "Ular berkepala Gatotkaca" makanya artinyapun menyimpang dari arti sebenarnya.

Tuesday, February 22, 2011

MASIH MENEMUKAN ‘MULUDAN’ DAN ‘ENDOG-ENDOGAN’


Saya berniat pulang kampung dengan kedua anakku tanggal 15 Pebruari 2011 lalu,  hanya satu keinginan:  menujukkan kepada kedua anakku tradisi “muludan” dan “endog-endogan” yang dulu pernah dijalani dan dirasakan Bapak-nya. Serta ingin mengetahui secara langsung, seberapa jauh perubahan tradisi itu dibanding 20 tahun lalu, saat aku dan adik-adiku masih tinggal bersama orang tua. Namun yang jelas, atmosfirnya sangat lain, karena banyak hiburan instan yang sudah masuk ke pelosok pedesaan. Meski kedua anakku sempat senang sebentar, namun mereka syik dan sibuk dengan VCD, Game dan film-film kartun kesangannya.

Monday, February 21, 2011

BERBURU "CUWUT' (TUPAI) BERHADIAH KELAPA

Banyuwangi, selain dikenal sebagai pengahasil padi terbesar di Jawa Timur, juga dikenal sebagai penghasil kelapa. Tumbuhan kelapa, selain banyak ditemui di pinggiran pantai. Juga banyak tersebar di seluruh daerah pertanian lahan kering, atau orang Banyuwangi menyebut "Kebonan". Selain memilik lahan pertanian yang ditanami padi, petani di Banyuwangi sekalgus memilik lahan kebonan yang ditanami kelapa. Nah, banyaknya pohon kelapa itu, ternyata juga dibarengi dengan banyak hama yang menyerang. Dulu hama yang menjadi momok pemilik pohon kelapa adalah Tupai (Callosciurus notatus Boddaert), atau "CUWUT". Bahkan siapa saja yang bisa menangkap "cuwut", pemilik kelapa akan mereka buah kelapan diambil beberap butir oleh pemburu "Cuwut" itu.

WATU DODOL: GERBANG MASUK BANYUWANGI


Apabila Anda sering beperpegian ke Bali lewat darat, terutama lewat utara Jatim, yaitu kawasan Situbondo, maka saat memasuki wilayah Banyuwangi Anda akan disambut Gapura Kejut. Ada patung Gandrung (Kesenian khas Banyuwangi) di sebelah kiri. Deburan ombak dengan air laut yang benaing, serta ada onggokan batu besar di tengah jalan. Itulah yang disebut Watu Dodol

"MELAYOKAKEN" DAN "NGELEBONI" SEKARANG..???

Masyarakat Using, mengenal tradisi melamar seorang gadis dengan nama "Melayokaken" dan "Ngeleboni". Tradisi ini muncul, apabila jalan normal sulit dicapai. Bisa akibat ketidaksetujuan pihak orang tua gadis atau orang tua pihak laki-laki. Namun langkah untuk mencairkan sikap "wangkot" (keras kepala) orang tua itu, bisanya ditempuh anak muda Using untuk "Melayokaken" gadis pujaannya, atas kemauan si gadis karen sudah terlanjuir cinta. Juga "Ngeleboni" ke rumah seorang gadis pujaanya, apabila orang tua si laki-laki menolak merestui hubungan asmara yang akun dilanjtkan ke pelaminan. Inilah bentuk-bentuk protes atas sikap yang tidak demokratis, namun tidak sedikiti akibat minimnya kemampuan komunikasi antara orang tua dan anak.

Sunday, February 20, 2011

RUJAK SOTO, KREASI RUJAK KHAS BANYUWANGI

Sing koyo ring Banyuwangi, rujak akeh manceme/Durung weruh rasane magih arane, nganeh anehi. Lalio nang hang dodol, tapi jojo lali nang rujake ....(Tidak seperti di Banyuwangi, rujak banyak macamnya/Belum tahu rasanya, mendengar namanya sudah aneh// Boleh lupa kepada penjualnya, tapi jangan lupa ke rujaknya)

ANGKLUNG CARUK, CONTOH BERPACU HIDUP SPORTIF

                                                    Kata "Caruk" alam bahasa Using berarti "temu". Kata dasar itu bisa diucapkan "Kecaruk" atau "Bertemu". Nah , Kata "Angklung Caruk"  artinya adalah dua kelompok kesenian angklung yang dipertemukan dalam satu panggung, saling beradu kepandaian memainkan alat musik berlaras pelog itu, dengan iringan sejumlah tembang Banyuwangian. Meski tidak ada aturan secara tertulis, kedua kelompok kesenian itu sejak puluhan tahun sudah memahi aturan yang menjadi kesepakatan. Sehingga, mereka tidak ada yang curang, tidak ada yang marah, saat kurang mendapatkan respon atau aplaus dari penonton.

"TUKANG KLUNCING" DALAM PERTUNJUKAN GANDRUNG

Pertunjukan Gandrung, tidak bisa dilepaskan dari posisi Tukang Kluncing, biasa disebut juga "Pengundang". Pemukul alat musik "triangle" ini, selalu ceria dan jenaka selama pertunjukan. Namun juga berwibawa di hadapan penonton, apalagi seluruh awak keseniannya. Selain hafal semua gending-gending yang dibawakan penari gandrung, Tukang kluncing juga hafal ketukan-ketukan nada dan irama musik gandrung. Sebagai komandan, setiap langkah penari gandrung dan instrumenat mana yang dominan, dia yang "menentukan". "Ayo ..Tik, garapen edeng-edengan. Sampur dipegang, lempar ke muka... mulai beerrrangkatttt......!!!!"

INGIN MERASAKAN TAMPARAN "SEGO TEMPONG" ?

Maraknya pemberitaan aneka kuliner di sejumlah daerah, ternyata juga mengangkat keberadaan makanan khas daerah. Di Banyuwangi selain dikenal tempat asal "Rujak Soto", juga ada makanan yang disebut "Sego Tempong". Nasi dengan sambal khas ini, disantap dengan lauk pada umumnya, seperti ikan laut segar goreng, tempe dan tahu goreng, bisa juga ayam goreng dan empal. Namun yang paling khusus adalah sambalnya, karena diracik secara khusus. Mulai bahan tomat (ranti-bhs Using), serta terasi yang digunakan. Bahkan saking pedasnya, orang yang habis menyatap Nasi Sambal ini seperti di-Tempong (Tampar-bhs Indonesia). Nah, dari sinilah muncul istilah "Nasi Tempong" yang membuat penyuka makanan pedas menjadi ketagihan.

"ADA APA DENGAN ORANG USING..??"


Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata "Osing" kadang juga "Oseng", namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata "Using" yang berarti "Tidak".


SASTRA USING AWAL ORDE BARU (4 Habis)

Setelah peristiwa G.30S/PKI meletus, seniman-seniman Daerah Banyuwangi yang terlibat di kancah politik banyak yang ditangkap penguasa Orde Baru, serta syiar lagu-lagu mereka dilarang untuk dkundangkan. Kebijakan Orba ini, sangat berpengaruh terhadap perkembangan Sastra Using. Media satu-satunya, rekaman dan kesenian Daerah justru dilarang. Bahkan pelarangan itu, berdampak terhadap ketakutan warga Banyuwangi, baik mendengarkan apalagi menyanyikan syair lagu-lagu Daerahnya sendiri. Kebanyakan lagu-lagu Daerah Banyuwangi yang popular saat itu, pengarangnya diindikasikan terlibat dalam sayap organisasi PKI (LEKRA) yang kemudian dinyatakan partai terlarang di Indonesia oleh Pemerintah Orde Baru.

SASTRA USING BANGKIT DARI KETERPURUKAN (3)

Setelah terjepak dalam propaganda politik, para seniman, penyair dan pengarang lagu bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat, mencoba bangkit mengembangkan kesenian dan kesusatraan Using.  Pengembangan ini, bukan saja semata-mata membuang yang lama. Namun lebih konstruktif, mengembangkan dasar-dasar lama untuk disesuikan dengan kebutuhan jaman. Upaya ini tidak mudak, karena pandangan orang (termasuk pemerintah saat itu), tentang syair lagu daerah Bahasa Using yang kekiri-kirian masih sulit dihapus.

SASTRA USING MASA KONFLIK POLITIK (2)

Pada masa menjelang kemerdekaan, Sastra Using tetap seperti jaman sebelumnya. Berkembang secara lisan dan berciri khas kerakyatan, meski secara berangsur-angsur mulai ada perbaikan ke arah sastra modern. Jika sebelumnya Sastra Using hanya disebarkan lewat Ritual Seblang dan Kesenian Gandrung, menjelang kemerdekaan bertambah media penyebaran baru, yaitu Kesenian Angklung. Pada masa ini, pengarang Sastra Using sudah melengkapi dengan Not Balok (partitur). Namun sayang, not balok itu tidak dipublikasikan dan hanya disimpan pengarangnya.

MENELISIK KEBERADAAN SASTRA USING (1)

Membecirakan Sastra Using, sama halnya dengan membecirakan Bahasa Using sebagai Bahasa tersendiri. Banyak orang yang ragu, apakah ada Sastra Using. Kalau ada, terus apa bentuk karyanya. Dibanding dengan Sastra Daerah lain yang berdekatan, seperti Jawa, Bali dan Madura, memang Sastera Using tidak sekaya ketiga Sastra daerah itu. Namun, bahwa ada tersendiri sastra Using, inilah yang perlu diungkapkan ke permukaan terlebih dahulu.

REBONDING SEBELUM SHOLAT

Man Haji Soleman seru senenge, weruh anak lanang hang kuliah nang IAIN Suroboyo mulih. Paran maning ndeleng dadandane, nggaRari Man Aji Soleman rodok gawok. Bengen budal nang Suroboyo rambute brintik, gok iki salin dadi “lurus”  (keceng), klimis lan gemilap pisan.

GURIT USING: K E P I L I S

Bang-bang kulon srengenge surup
Sekehe kalong, lowo, lan codot kuntup-kuntup
Lengsere srengenge semburat abang ring langit
Sopo hang arep ngawase matenge wowohan ring uwit

Kewan hang nggelantung podo rebut bucung
Endi hang mateng wis diambus aju disaut
Peteng sintru wahaye wong-wong podho turu
Ojo seru dirandu riko arep ngunduh jambu

Srengenge melthek gemelar woh-wohan podo tatu
Ono hang bundas mergo ketebluk ring nduwure watu
Ugo ono hang rosak kecokot untu
Moto mendelik arep ngomong sing kewetu

Surabaya, 17 Pebruari 1011

GURIT USING: NGUDARI SUWUNG

Alas gung liwang-liwung
Sun randu kembang celung
Adem mbediding longgroke kembang cangkring
Duh lare lancing gage cincing-cincing

Bang wetan sumburat abang branang
Suket-suket hang kemulan embun jelalatan
Munyik ambi matane kethip-kethip
Wis wayahe mapag tekane wayah isuk
Sak kepel angen-angen hang ono
Sun serawataken ring jembare langit padang
Dunyane padang jinglang, pikirane jembar
Murub tekade seneng atine ...

Surabaya, 10 Januari 2011

Transeksual Dalam Panggung Kesenian Tradisional

Saat saya posting status di Facebook, tentang Seni Tari Gandrung Marsan mewakili Jawa Timur dalam festival seni tari tingkat Nasional, ada teman yang gelisah atas banyaknya pelatih Tari Banyuwangi yang cenderung didominasi kaum wadam (wandu: Using) atau transeksual. Bahkan dalam Tari Gandrung Marsan yang dikomandani Sobari Sofyan, memang kebanyakan pelakukan juga waria. Mereka seakan ingin menegaskan, bahwa Gandrung yang menjadi icon Banyuwangi itu dulunya diperankan seorang laki-laki (Gandrung Lanang).

Transeksual Dalam Panggung Kesenian Tradisional


Saat saya posting status di Facebook, tentang Seni Tari Gandrung Marsan mewakili Jawa Timur dalam festival seni tari tingkat Nasional, ada teman yang gelisah atas banyaknya pelatih Tari Banyuwangi yang cenderung didominasi kaum wadam (wandu: Using) atau transeksual. Bahkan dalam Tari Gandrung Marsan yang dikomandani Sobari Sofyan, memang kebanyakan pelakukan juga waria. Mereka seakan ingin menegaskan, bahwa Gandrung yang menjadi icon Banyuwangi itu dulunya diperankan seorang laki-laki (Gandrung Lanang).
Namun saat gladi bersih di Kantor Dinas Kebudayaan dan Parisata Jawa Timur, mendapat kritik keras dari pengamat. Salah satunya adalah dominasi gerakan tari yang gemulai. Sang pengamat ini menghendaki, saat perpindahan penari bergaya perempuan ke sosok aslinya sebagai seorang pria, tidak saja diwujudkan dengan atribut kumis yang dikenakan seluruh penari, melainkan mereka secara total dalam bentuk gerakan juga menampilkan sosok laki-laki yang kekar. Tentu dengan gerakan-gerakan yang relatif kasar, kadang cenderung marah.
Masalah Gandrung Lanang, itu adanya lebih tua dibanding gandrung perempuan, sekitar tahun 1814 dengan penari terakhir bernama Marsan. Namun sejak tahun 1914, Gandrung Lanang sudah tidak dijumpai lagi, sejak meninggalnya Marsan. Tentu, saat itu Gandrung bukan sebagai pertunjukan komersial, tetapi bagian ritual yang harus dilakukan petani (Masyarakat Agraris) seperti yang tersisa sekarang, yaitu Tradisi Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan.
Penari Gandrung perempuan pertama bernama Semi, juga hidup pada massa setelah Marsan, atau setelah era Gandrung Lanang. Menurut sejumlah literatur yang saya baca, bergesernya Gandrung Lanang ke Gandrung Wadon (Perempuan), tidak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam di Banyuwangi (Blambangan saat itu). Mengingat dalam syariat Islam melarang adanya perilaku yang “kemayu” dan “lembeng”.
Namun saya kurang setuju terhadap analisis ini, karena justru ormas Islam lah yang banyak menggunakan laki-laki sebagai sebagai Tokoh perempuan dalam panggung. Seperti dijumpai dalam Kesenian Drama Rengganis atau Prabororo dan Drama Modern dengan cerita-cerita penyebaran Islam di Timur Tengah yang dikembangkan LESBUMI, sayap Organisasi NU di bidang Seni Budaya.
Menurut keterangan yang pernah saya himpun dari pelaku-pelaku kesenian itu, mereka sengaja menggunakan Laki-laki berperan sebagai tokoh perempuan di panggung, karena adanya “larangan” menurut syariat Islam tampilnya perempuan dalam panggung yang cenderung dieksploitir. Bahkan ada juga yang menyatakan haram.
Tentu casting terhadap mereka yang layak menjadi tokoh perempuan, melalui pertimbangan khusus. Sehingga tidak jarang, para laki-laki ini bisa tampil luwes dan kadang “kecantikanya” mengalahkan perempuan aslinya. Para “perempuan jadi-jadian” ini akan kembali berkativitas sebagai laki-laki dalam kehidupan keseharian, mereka menghilangkan atribut perempuan di panggung. Mereka juga banyak yang sudah beristiri dan melalukan aktivitas “kasar” sebagaiman umumnya laki-laki.
Namun tidak sedikit dari “perempuan jadi-jadian” ini terlalu menghayati perannya, sehingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari, terutama sifat “lembeng” dan “kemayunya”. Ada juga yang menghendaki, agar si “perempuan jadi-jadian” ini sengaja mempertahankan penampilannya seperti di panggung. Tentu orang ini (maaf) tidak normal, karena tertarik sesama jenis. Inilah faktor awal banyaknya seniman panggung “menjadi wandu” (transeksual). Sementara tokoh yang mencasting mereka menjadi “perempuan” ini, banyak yang tidak peduli terhadap perkembang psikis dari pelakon-pelakon panggung yang tiba-tiba berubah penampilan hingga orientasi sekseualnya.
Kasus ini seperti bisa diurai, jika ada yang mau menjelaskan “kesalahkaprahan” ini kepada seniman dan masyarakat umum. Sehingga tidak menjadi pembenar, bahwa senimam tari itu harus gemulai total. Bahkan banyak orang tua enggan mengijinkan anak laki-lakinya menjadi penari, karena takut “kebablasan” menjadi “gemulai” dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam panggung hiburan modern, ternyata mereka yang berpenampilan “melambai” inilah yang laris menjadi presenter hiburan. Lihat saja Televisi kita, sebagian besar presenter hiburan yang penampilannya “melambai”. Masalah dia transeksual atau tidak, itu urusan mereka, tetapi publik ternyata menyukai “peran” demikian itu. Jadi ini seperti yang saya sebutkan di atas, penonton (Baca: Masyarakat), juga ikut andil dalam mengumbah perilaku seseorang. Tentu mereka yang berpandangan pragmatis, instan, ingin cepat populer dan ingin segera mendapatkan harta dari dunia hiburan. Wallohualam bissawab…..