Wacana akan mengganti simbol “Ular Kepala Gatotkaca” oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, sempat memanaskan telinga Budayawan Banyuwangi, serta rakyat Banyuwangi yang tahu persis simbol itu sudah bertengger di Ancak Angklung Caruk sejak kesenian itu ada. Latar belakang penggantian itu, ternyata akibat ketidaktahuan sang Bupati atas makna simbol yang banyak ditemui di Pemkab Banyuwangi dan sejumlah Prasasti itu. Menurut Bupati Anas, ia tidak ingin simbol itu membelenggu rakyat Banyuwangi, karena sifatnya dianggap seperti “ular” (ngulo). Mereka hanya menganggap “Ular Berkepala Manusia” bukan "Ular berkepala Gatotkaca" makanya artinyapun menyimpang dari arti sebenarnya.
Sungguh pepatah: “Malu bertanya sesat di jalan”, atau dengan plesetan “Malu bertanya akan malu-maluin”, kata orang Jakarta ini sangat pas untuk mengomentari orang yang melempar gagasan mengganti simbol “Ular Berkepala Gatotkaca” ini. Adalah Andang Chatib Yusuf, Budayawan dan pengarang Syair lagu-lagu daerah Banyuwangi sejak tahun 1960-an, mencoba memberi penjelasan kepada pers tentang wacana itu. Menurut Andang, badan ular yang binatang melata itu, menyimbolkan rakyat jelata yang hidup bersahaja. Sementara kepala Gatotkaca tokoh pewayangan yang hidup di kayangan, untuk menggambarkan orang-orang yang hidup di atas, yaitu para penguasa. Jadi secara keseluruhan, makna dari simbol “Ular Berkepala Gatotkaca” itu sebagai wujud Pemerintahan yang ideal. Berupa harmonisasi dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dengan Pemimpin atau Penguasa yang diberi mandat.
Sebetulnya, penyimpangan makna tadi tidak ubahnya dari olok-olok orang di luar Banyuwangi. Kebetulan Bupati Anas sering berada di luar Banyuwangi, mulai SMA, Perguruan Tinggi dan aktif di Organisasi serta menjadi anggota DPR RI, juga berada di Jakarta. Selain itu. Bupati Anas tidak mempunyai latar belakang Using dengan corak budayanya yang menggambarkan ciri khas Banyuwangi. Lahir dari keluarga Jowo Kulon, serta latar belakang Pesantren yang kuat (Blokagung), membuat Bupati Anas kurang dekat dengan Budaya dan Tradisi Using. Jikapun sering membuka acara Tradisi Budaya, tentu yang masih kental nilai kesantriannya, seperti Pembukaan Pawai Endog-Endogan yang sering dilakukan di Desa Gembiritan Kecamatan Genteng, sejak menjadi Anggota DPR RI hingga menjadi Bupati.
Pada saat Samsul Hadi menjabat Bupati Banyuwangi, memang berusaha membangkitkan nilai-nilai ke-Using-an secara luas. Diantaranya menambah maskot yang sebelumnya berupa “Ular Berkepala Gatotkaca”, dengan maskot lainnya berupa Patung Gandrung, Tokoh Cerita Menak Jinggo serta lain-lainya. Pada saat Samsul yang kebetulan juga orang Using, di Banyuwangi mulai diajarkan Bahasa Using di sekolah dasar, dengan terbirnya Kamus Bahasa Using karya almarhum Hasan Ali. Samsul memang terlihat lebih intesif dalam menggali potensi Tradisi dan Budaya khas Banyuwangi, yaitu Using. Bahkan tidak tanggung-tanggung, Samsul juga rela menjadi penyanyi membawakan lagu-lagu berbahasa Using, baik dalam bentuk pita kaset maupun VCD.
Lain halnya dengan Ratna Ani Lestari, Bupati perempuan pertama di Banyuwangi ini, memang tidak jelas asal-usulnya. Konon perempuan kelahiran
Meski Ratna terkesan alergi terhadap kesenian Banyuwangi, namun pada pertengahan jabatannya justru menjadi bintang videa klip lagu-lagu daerah Banyuwangi berbahasa Using. Upaya ini tentu bukan karena cintanya Ratna, melainkan ingin mendapatkan simpati dari warga Using seperti seniornya Samsul Hadi. Kang Samsul meski dalam penjara, tetapi warga Banyuwangi (Using) menganggap sebagai tokoh yang perlu diberi pengharagaan. Banyak karya nyata yang dihasilkan, semasa dia menjabat orang nomor satu. Di Banyuwangi.
Nah kembali ke masalah “Ular Kepala Gatotkaca”. Jika Bupati Anas mau dan banyak bergaul dengan para budayawan setempat, tentu tidak mudah melontarkan wacana itu. Selain itu bisa mengkonter, jika ada olok-olok dari koleganya di luar Banyuwangi. Dari sejarahnya, Banyuwangi memang terkenal sebagai daerah yang adaftif terhadap pengaruh luar, meski demikian pola mempertahanlkan jati diri sebagai wong Using juga sangat kuat.
Jika Bupati Anas ingin melepaskan “belenggu’ yang kurang baik atas penilian orang luar terhadap rakyat Banyuwangi, masih banyak yang perlu dilakukan. Misalnya mengetahui dengan benar, bagaimana sejatinya Gandrung itu awal perkembangannya dan hingga berubah seperti sekarang. Jangan sampek nanti ada desakan dari kalangan tertentu bahwa Gadrung tidak Islami, langsung ditanggapi dengan melarang pementasan Gandrung. Gandrung itu kesenian yang religiusitas keislamannya juga menonjol, lihat saja doa yang dibacakan sebelum pentas, serta episod Seblang Subuh yang berisi ‘pitutur’ tentang akhlak dan kebaikan. Jika ada yang dihilangkan dari sebelumnya, inilah peluang Penguasa untuk menerbitkan BUKU PUTIH dari kesenian yang disimpangkan itu.
Sebetulnya yang paling terbelenggu atas peniliaan negatif oleh orang luar, yaitu perempuan-perempuan Banyuwangi. Mereka menanggung ‘dosa salah kaprah’ dari dongeng Serat Damarwulan, karena perempuan Banyuwangi selalu diidentikan dengan tokoh “Waito-Puyengan” kedua istri selir Minak Jinggo. Orang luar Banyuwangi, selalu mengindetikan perempuan Banyuwangi itu suka menggoda laki-laki yang sudah beristri, seperti Waito-Puyengan yang menggoda Damarulan. Inilah pekerjaan besar Bupati Banyuwangi, untuk meluruskan peniliaan yang tidak benar terhadap rakyatnya. Bukan malah mengganti maskot dan simbol yang jelas-jelas maknanya sudah positif.
Ular berkepala gatot kaca itu sendiri namanya apa ya pak
ReplyDeleteUlar berkepala gatot kaca itu sendiri namanya apa ya pak
ReplyDelete