Total Pageviews

Monday, June 25, 2018

REALITAS SOSIAL DALAM GENDING BANYUWANGI TAHUN 1970-AN

Gending-gending Banyuwangi yang populer tahun 1970-an, tidak saja bercerita tentang percintaan. Namun dari itu, banyak juga yang mengetengahkan masalah-masalah sosial yang sedang berlaku di Banyuwangi. Bila kita dengarkan ulang gending-gending itu, akan melambungkan angan kita terhadap realitas yang terjadi di Banyuwangi pada saat Gending itu dibuat dan dipopulerkan. Pengarang syair gending-gending Banyuwangi pada saat itu, selain berlatar belakang Guru, seniman  dan juga ada pejabat. Mereka punya kepedulian khusus terhadap situasi sosial di daerahnya.

Konsekwensi pengarang sebagai anggota masyrakat, maka realitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari banyak juga terungkap lewat karya sastranya. Menurut Luxemburg (1984: 20), dunia fiksi itu sebagai suatu dunia lain berdiri di samping kenyataan, tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan.

Berdasarkan pendapat Luxemburd tersebut, bahwa realitas sosial yang digambarkan pengarang fakta kemiripan  dengan kenyataan sosial yang berlaku pada masyarakat pengarang (Banyuwangi). Namun kenyataan dalam karya sastra bukan merupakan tiruan secara utuh dari kenyataan sosial, tetapi hanya sebagai sarana dari pengarang untuk menyikapai suatu kenyataan. Kenyataan dalam karysa sastra, sudah melalui proses pengolahan dan penambahan oleh pengarang sesuai kebutuhan. Realitas sosial dalam karya sastra, juga bisa merupakan catatan peristiwa dari pengarang, untuk mengingatkan khalayak atau penikmat karya satra untuk memahami kejadian-kejadi yang sudah berlalu.

Sun kirim kembang lan gending, riko pasukan nol-nil tiga dua
Hang saiki podo turu kemul bumi dipeluk Ibu Pertiwi
Sak ubengiro segoro sedino-dino njogo kuburiro
Raino bengi ombang pesisir Banyuwangi nggandengi pujo lan puji


Waktu dino semono tanggal selikur ulan Juli
Tahun petang pulu pitu, ati lan jantung ditembus peluru
Pitulas Pahlawan adus getih didril serdadu Londo
Ambi mesem matiniro, lilo ngembangi Bongso


Sak durunge riko mati, pesisir Banyuwangi riko kancani
Timbang nyerah nang Londo, aluk mati kanggo mbelo Negoro
Mung sithik penjalukiro, nembang Indonesia Raya lan Merdeko
Tekad hang murub ring dodo, sampek mati terus digowo
                                                         (Kembang Kirim, BS Noedian)

Gending Kembang Kirim di atas, merupakan rekaman peristiwa pada tanggal 21 Juli 1947, yaitu bertepatan dengan Agresi Belanda Pertama di Indonesia. Peristiwanya terjadi di Banyuwangi, tepatnya di Pantai Banyuwangi atau Boom yang kemudian dijadikan THR (Tempat Hiburan Rakyat) awal tahun 1980-an. Di kawasan itu, dulu dijadikan Benteng Pertahanan untuk menghalau masuknya Belanda kembali ke Indonesia melalui laut. Pada peristiwa itu, pengarang menceritakan ada 17 tentara Indonesia gugur akibat tembakan senjata Belanda bertubi-tubi. Mereka yang gugur dari Kesatuan 0032 Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), sekarang TNI Angkatan Laut.

Perjuangan Angkatan Laut di Banyuwangi ini, merupakan perlawanan terhadap penjajah yang paling heroik. Dalam peristiwa ini, Komandan Pasukan, Letnan Muda Soelaiman sebelum ditembak mati pasukan Belanda, sempat dan mengakukan tiga permintaan. Pertama, minta supaya diperlakukan sebagai tawanan perang sesuai hukum International yang berlaku. Kedua, diberi kesempatan menaikan Sang Saka Merah Putih. Ketiga, memekikan kata Merdeka. Inilah realitas yang berusaha digambarkan pengarang, untuk membangkitkan rasa nasionalisme.

Cara pengarang pengungkapkan peritiwa perang itu seperti kejadian yang baru terjadi, karena dilukiskan saat kematian para pehlawan itu terlihat dengan tersenyum. Penggambaran ini, untuk mengesankan keikhlasan para tentara itu dalam membela negara.



No comments:

Post a Comment